Menuju Dakwah Transformatif - Muchammad Andre Prasetya










WELCOME TO MY BLOG'S

DON'T FORGET FOR SUBSCRIBE, COMMENT AND ETC

NEW UPDATE

Post Top Ad

Jumat, 11 Juli 2014

Menuju Dakwah Transformatif

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjYLUaHk_pMSz7zB2ZHJk-tLa6sfhX1G4m5DYYzv8_TD73jlj6QeSUaxddkjHHBKUBve1LwrW1CNdSLPh81ZJPKiebuDIX18F3y9vKlJDc8LZyXESqLXnOs1Icv_u_z1fdtkeuQ1kwf41A/s1600/Khutbah+Jum%2527at+di+Wallpaper+Masjid+unik+tentang+ramadhan+islam+bukan+teroris.jpg   “Hendaklah kamu waspada terhadap perbuatan ma’shiyat
dibanding kewaspadaan kepada musuh. Sesungguhnya aku lebih bimbang dengan dosa yang dilakukan oleh tentara Islam dibanding kebimbanganku terhadap musuh. Sesungguhnya umat Islam mendapat pertolongan Allah lantaran kemungkaran yang dilakukan oleh pihak musuh. Oleh karena itu, janganlah kalian melakukan perkara yang dimurkai Allah ketika sedang berjihad.”
(Amanat Umar ibn Al-Khatab Al-Faruq kepada Tentara Islam)
Fenomena Dakwah Kontemporer.

    Belakangan ini, gaung dakwah semakin populer. Jika dulu, dakwah hanya sebatas menyampaikan (tabligh) dalam bentuk ceramah saja, kini dakwah telah diberikan kemasan yang lebih variatif. Dakwah menjadi lebih “hidup” mengikuti trend yang diminati oleh mad’u (penerima dakwah)nya. Fenomena ini dapat kita saksikan melalui media televisi, tayangan dakwahtaintment (sebuah pola yang menggabungkan antara dakwah dan entertainment) mendapat perhatian tinggi dari pemirsa. Secara bisnis, tayangan ini memang menguntungkan, perolehan iklannya menandingi tayangan hiburan lain. Tayangan dakwah di televisi, setidaknya memuat dua pola penyiaran, insidentil dan kontinyu. Tayangan dakwah insidentil, biasanya menyambut momentum tertentu seperti Ramadhan dan peringatan Hari Besar Islam, sedangkan pola kontinyu dipakai secara terus menerus tapi tentu melihat respon pemirsa dan perolehan iklan, seperti Pildacil dan Audisi da’i yang ditayangkan beberapa stasiun TV swasta. Tapi ada juga tayangan dakwah yang selalu muncul walaupun secara bisnis tidak marketable, ya sekedar “menggugurkan kewajiban” kepada umat Islam Indonesia, yaitu tayangan hikmah fajar, hampir seluruh stasiun TV menayangkan ini dengan format yang tidak jauh berbeda.

   Pada saat yang bersamaan, dakwah yang menggunakan media elektronik tidak melulu dengan metode oral (bil-lisan), kini mulai dicoba tayangan dakwah dalam bentuk sinetron, reality show, talkshow interaktif, film dokumenter, zikir akbar dan masih banyak yang lain. Bahkan pada bulan Ramadhan, stasiun TV seperti kebanjiran berkah karena selama satu bulan penuh tayangan dakwah menjadi primadona pemirsa sekaligus tayangan paling diburu pemasang iklan.

   Media dakwah tentu bukan hanya televisi, belakangan dakwah melalui media cetak seperti, koran, tabloid, jurnal dan penerbitan buku, juga mulai marak. Penerbitan media Islam bahkan menjadi bisnis yang dilirik banyak pengusaha, karena market sharenya sangat luas dan minat beli masyarakat meningkat tajam. Dakwah bil-kitabah ini juga memasuki dunia maya, teknologi internet menjadi media alternatif penyampaian pesan-pesan ajaran agama. Ribuan situs dakwah dapat diakses dengan mudah, bahkan pesantren virtual mulai bermunculan.

   Masalah Keragaman; Problem Dakwah?
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah maraknya tayangan dakwah di televisi dan ragam media lainnya dapat menjadi ukuran keberhasilan dakwah yang sesungguhnya? Pada batas-batas tertentu fenomena ini memang cukup menggembirakan, animo masyarakat muslim kepada dakwah meninggi, geliat ekspresif syiar Islam semakin tampak melalui perkumpulan ritus dengan jamaah yang massif. Namun, keragaman model dakwah juga harus diakui. Bukankah para pendakwah berangkat dari historical background yang juga beragam?

   Nah, persoalannya banyak masyarakat yang tidak memahami perbedaan latar belakang pendakwah ini, padahal intelektual dan budaya penyampai pesan tentu akan sangat mempengaruhi content dan style dakwah mereka.
Inilah kenyataan sekarang, secara jelas kita menyaksikan ekspresi keberagamaan yang lain, saat ritus menguat dalam suatu komunitas dengan ikatan simbol tertentu, melahirkan sebuah kemantapan kelompok yang cenderung menafikan kelompok di luar mereka. Akibatnya keragaman tidak lagi dirayakan, tetapi menjadi penyekat dan bahkan jurang pemisah yang membentuk pengakuan “orang kita dan orang mereka” atau dalam bahasa yang sering diungkapkan jika ada orang yang berbeda dengan kelompoknya disebut “Laisa Minna” atau “Minhum”.

   Sulitnya merayakan keragaman menjadi kendala dakwah belakangan ini, terlebih lagi ditengah arus pemberian stereotype kepada kelompok-kelompok yang ada. Kita tidak memungkiri kenyataan bahwa umat Islam pasca wafatnya Rasulullah SAW telah menunjukkan adanya pebedaan. Hal ini wajar, karena pemegang otoritas tunggal dalam menerjemahkan dan menjelaskan wahyu telah tiada, bahkan wahyupun telah berakhir. Ketika Rasulullah hidup, semua masalah yang muncul dapat selesai dengan jawaban beliau, tetapi setelah beliau meninggal, umat Islam, terutama para sahabat generasi awal, menjawab permasalahan dengan ijtihad mereka. Maka, lapangan ijtihad sesungguhnya telah dibuka segera setelah wafatnya Rasulullah ini. Ketiadaan pemegang otoritas terhadap wahyu inilah yang menjadi embrio munculnya perbedaan pemikiran yang pada gilirannya membentuk perbedaan kelompok, madzhab, aliran dan segala bentuk perkumpulan baik yang disandarkan kepada pemikiran, simbol dan ritus atau keta’atan pada tokoh. Melihat kenyataan sejarah ini, maka eksistensi kelompok ataupun madzhab adalah sebuah keniscayaan, bahkan jika digaungkan gerakan tidak bermadzhab, pada hakekatnya gerakan itu telah membuat madzhab baru.
Dakwah Transformatif.

   Peluang terjadinya perbedaan pendapat dalam kehidupan beragama, merupakan tantangan besar bagi dakwah Islam. Sebab, bukan tidak mungkin terjadi benturan dalam lapangan dakwah. Bahkan, kenyataan ini sudah tampak. Terlalu sering kita menyaksikan dalam aksi unjuk rasa, dua kubu (yang notabene keduanya bagian dari sebuah proses dakwah) yang berseberangan, bertikai dan tak jarang melukai dan merusak sambil menggelorakan semangat dengan meneriakan kalimat yang sama; Allahu Akbar!.

   Nah, menghindari perbedaan jelas tidak mungkin tetapi mendudukkan masalah yang berbeda untuk bisa difahami tentu bisa diupayakan. Dalam konteks inilah perlunya rumusan baru konsepsi dan metodologi dakwah yang akan menjadi pedoman para du’at dalam membina jama’ahnya. Kita sama tahu, belakangan ini ada kecenderungan karakter masyarakat untuk memilih model dakwah; ada yang menyukai dakwah menyejukkan tapi tidak sedikit yang senang dengan dakwah gaya keras. Kedua model ini mungkin diyakini sebagian pengikutnya memberikan manfaat yang cepat dan tepat. Dakwah menyejukkan dengan spesifikasi tema tertentu, untuk sementara waktu mampu menyejukkan problem stress di masyarakat. Dakwah gaya keras oleh pengagumnya dianggap dapat menuntaskan masalah dan solusi bagi doktrin amar ma’ruf nahi munkar meskipun kenyataannya pengaruhnya sangat tentatif. Dari sini jelas, untuk jangka panjang masyarakat membutuhkan dakwah yang melahirkan peresapan nilai-nilai yang lebih kokoh, menambah kualitas keberagamaan dalam menghadapi kehidupan ini.

   Sebagai bagian dari proses rekayasa sosial, dakwah menjadi media yang signifikan menjembatani berbagai kepentingan dalam hidup dan kehidupan, karenanya meskipun dakwah menawarkan sebuah cita ideal, namun tetap dituntut responsif terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Pada titik inilah dakwah harus memainkan peran multidimensional sehingga tetap akan relevan sepanjang zaman. Upaya merubah konsepsi dakwah dari dakwah konvensional (baik metode maupun contennya) yang cenderung eksklusif menuju dakwah yang inklusif dan mencerahkan adalah sebuah keharusan sebagai implikasi dari perubahan yang terus terjadi. Semangat ini dapat kita temukan dasarnya pada ajaran agama tentang menuju perubahan yang lebih baik misalnya al-Quran surat ar-Ra’du ayat 11, al-Taubah ayat 105 dan al-Ankabut ayat 69 maupun beberapa hadits nabi Muhammad SAW di antaranya tentang esok harus lebih dari hari ini. Sebuah kaedah ushul fiqh juga menguatkan hal ini, “Memelihara konsep lama yang baik, dan mengambil konsep baru yang lebih baik”.

   Kita dapat menyebut konsepsi ini sebagai dakwah transformatif, yaitu dakwah yang dapat memberikan perubahan menjadi lebih baik dalam berbagai lini secara struktural. Dakwah yang berpihak kepada kaum tertindas (mustadh’afin) dan kaum terzalimi (Mazhlumin) sehingga hak-hak mereka dapat dipenuhi dengan baik. Dakwah yang menuntut pemegang kekuasaan memberikan rasa aman kepada warga bangsa. Dakwah yang mengusung nilai-nilai moderat seperti penghargaan kepada perbedaan, toleransi, kemandirian, merayakan keragaman, perdamaian dan anti kekerasan. Dan Akhirnya model dakwah ini bertanggung jawab membangkitkan motivasi mad’unya agar menyadari bahwa perubahan lebih baik itu baru bisa diraih dengan kesadaran diri (self awarness).

   Kesadaran diri adalah kata kunci bagi perubahan, karena setiap kita tidak dapat bergantung hanya kepada setumpuk konsep untuk kita jejali kepada mad’u. Mad’u-pun tidak lagi diposisikan sebagai objek dakwah, karena sang pendakwah juga harus siap menerima dakwah. Gagasan ini akan bertujuan menyadarkan segenap aktivis dakwah (kini mad’u dan da’i nya sekalian) untuk tidak mudah bersedih meratapi nasib yang kurang baik, tetapi menggelorakan semangat untuk berani menggapai perubahan guna meraih kemenangan. Jika A Hasjimi menyatakan bahwa perubahan ke arah lebih baik dalam dakwah harus dimulai dari sang juru dakwah, maka dakwah motivational menuntut para da’i untuk mampu memotivasi diri mereka sendiri agar tidak kehilangan obor semangat dalam perjuangan dakwah.
Dakwah motivational adalah sebuah gagasan yang berangkat dari kesadaran bahwa merayakan keragaman adalah suatu hal yang niscaya yang dalam semangat kemanusiaan mengharuskan kita menebarkan kemanfaatan menuju perubahan yang lebih baik guna meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

   Dakwah model ini mengiringi visi transformatif yang lebih egaliter, toleran dan mencerahkan. Dengan demikian, tidak ada lagi hegemoni dan dominasi suatu kelompok atas kelompok lain. Pada level ini, perlu kiranya difahami bahwa dakwah adalah proses yang tidak mengenal kata finish, ia proses yang berkelanjutan, sehingga siapapun orangnya –dalam kapasitas keilmuan setinggi apapun- harus legowo menerima dakwah. Sebuah firman Allah menegaskan akan hal ini: “Hai orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah dengan sebenarnya taqwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan berpasrah diri kepada Allah”. Upaya dakwah memang harus dengan persistensi yang tinggi, Alwi Shihab dalam Islam Inklusif menyatakan “….ini karena Islam bukanlah sebuah status yang dibatasi oleh syahadat, tetapi sebuah proses, sebuah usaha seumur hidup yang terungkapkan dalam melakukan perbuatan teladan dan mengajak orang ke jalan islam sebagai jalan hidup.”
Etika Dakwah.

   Sebagai instrumen mencapai sasaran dakwah, maka visi transformatif menjadi sangat penting untuk diketahui para da’i. Visi transformatif ini berpijak kuat kepada nash syar’i semisal mengusung nilai kesantunan, kelembutan dan kasih sayang dalam menegakkan kebenaran tapi pada saat yang bersamaan memiliki ketegasan dalam mencegah kemungkaran. Begitu juga nilai perdamaian dan menghargai perbedaan, sehingga pesan utama al-Quran bahwa tidak ada paksaan dalam beragama dapat diaplikasikan dengan baik, bijak dan penuh kearifan. Visi ini harus disosialisasikan agar para du’at tidak dininabobokan oleh gempita materialistik dalam panggung hiburan, karena dakwah bukanlah sekadar ucapan kosong dan penampilan yang memikat. Dalam pandangan Kuntowijoyo, minimal dakwah itu meliputi tugas: mengembalikan manusia kepada fitrahnya (humanisasi), membebaskan manusia dari belenggu penindasan/penjajahan (emansipasi), dan memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta (transendensi). Kunto mendasarkan tesisnya ini pada firman Allah yang menyeru tentang keharusan dakwah, sebagaimana tercantum dalam 110:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

   Ayat ini dapat dikatakan sebagai petunjuk pelaksanaan (juklak) dalam berdakwah. Jika kita sepakati bahwa elan dasar dakwah adalah mendorong manusia ke arah perubahan yang lebih baik, maka tepat sekali perspektif kunto di atas, ayat ini tidak serta merta bicara amar ma’ruf nahi mungkar yang mesti ditegakkan dengan semangat pertempuran, tapi memotivasi manusia untuk sepenuhnya sadar menemukan fitrahnya kemudian membebaskan manusia dari penindasan serta mengeratkan hubungan dengan Tuhan. Dalam upaya menyampaikan visi transformatif ini, penyelenggaraan dakwah tidak lagi berbentuk upaya mengajak orang lain (apalagi dengan memaksakan kehendak) agar mengkonversikan keyakinannya, tapi justru mengambil bentuk upaya-upaya yang mengarah kepada perbaikan kualitas hidup manusia.

   Dalam rangka menuju cita dakwah yang egaliter, damai dan terbuka diperlukan rumusan etika dakwah yang dapat dijadikan sebagai pijakan dasar para du’at. Etika dakwah menjadi penting, karena ia merupakan pintu masuk yang acceptable dari seluruh kelompok yang ada. Bukankah etika juga materi dasar yang diajarkan al-Quran, dan al-Quran kitab suci yang menjagi referensi du’at? Al-Quran adalah pedoman etika yang par-excellent, bahkan sejak semula ia tidak hanya didominasi ajaran-ajaran teologis maupun legal formal, namun sedari awal ia Kitab Suci yang dipenuhi dengan wawasan, acuan dan dasar-dasar etika (Fazlurrahman, Tema Pokok Al-Quran,1983). Selain teks suci sebagai landasan teologis, format etika dakwah juga mengangkat kembali nilai-nilai etis dari penyelenggaraan dakwah generasi awal Islam sebagai landasan historis.

   Landasan historis ini mengambil potret dakwah Nabi Muhammad SAW. Beliau dikenal santun tidak hanya oleh kawan tapi juga diakui lawan, tidak hanya oleh orang sezaman, tapi telah melintas waktu dan ruang. Sejarah dakwah Islam generasi awal –di bawah bimbingan langsung Sang Nabi- mewariskan wajah dakwah yang inklusif. Banyak kisah yang menunjukkan kebenaran tesis ini, di antaranya adalah ketika terjadi Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah). Buku-buku sejarah menceritakan peristiwa itu dengan elok, betapa saat Nabi sampai pada puncak kekuasaan dan kemenangan, di mana kaum kafir Quraisy Makkah yang saat itu tak berdaya dan pasrah menerima perlakuan apapun sebagai balasan dari Nabi, tetapi justru saat itu pula Nabi Muhammad sampai pada puncak kearifan. Beliau menyatakan kepada orang-orang yang dulu memusuhinya itu dengan ucapan yang sangat terkenal; “Antum ath-Thulaqaa!!” Artinya; “Pergilah, kalian adalah orang-orang yang bebas, tidak ada kedengkian dan hasud di antara kita.” Cara dakwah Nabi yang sejuk seperti ini akhirnya membuat prestasi besar masuknya kafir Quraisy ke dalam agama Islam secara berbondong-bondong sebagaimana didokumentasikan dalam QS An-Nashr ayat 1-4: “Apabila Telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat”.

   Ketika di Madinah pun Nabi memulai dakwah dengan menumbuhkan semangat persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Puncaknya adalah lahirnya Piagam Madinah yang mengakomodir kepentingan umat Islam, Nasrani dan Yahudi. Piagam Madinah yang beisi 47 pasal itu menjadi simbol dakwah yang akomodatif mengingat saat itu Islam, secara politik, menguasai negeri Madinah.

   Sementara itu, sebagai landasan teologis, teks suci banyak memuat dokumentasi mengenai etika dakwah ini, di antaranya terdapat dalam Ali Imran ayat 159: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

   Kemudian An-Nahl 125: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” Kemudian Ali Imran ayat 20: “Jika mereka masuk Islam, Sesungguhnya mereka Telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, Maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.”
    Kemudian Al-Baqarah ayat 256: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” Kemudian Al-Ghaasyiyah ayat 21-22: “Maka berilah peringatan, Karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”

   Dari landasan teks suci seperti nukilan di atas, dapat kita ketahui bahwa dakwah ini sejatinya diselenggarakan dengan nuansa kesejukan dan anti kekerasan. Surat An-Nahl ayat 125 di atas menyempurnakan metode dakwah yang damai ini. Ayat al-Quran yang menegaskan tentang garis kebijaksanaan dakwah ini, menurut A. Hasjimi merupakan pedoman bagi Muhammad SAW dan umatnya yang berkewajiban melanjutkan cita risalah akhir (Dustur Dakwah menurut Al-Quran, 1994).

   Jadi, sudah seharusnya para da’i sekarang melakukan introspeksi untuk mentransformasi visi dakwah mereka menjadi lebih egaliter, toleran, terbuka dan damai. Karena keberhasilan dakwah tidak akan terlepas dari peran juru dakwah yang didukung oleh keilmuan dan akhlak yang karimah. Imam Sufyan ats-Tsauri menyatakan, “Janganlah seseorang mengajak kepada ma’ruf dan mencegah kemungkaran melainkan jika ada padanya tiga ciri: Pertama, berlemah lembut dengan apa yang diseru dan dicegah. Kedua, berlaku adil dengan apa yang diseru dan dicegah. Ketiga, berilmu berhubungan dengan apa yang diseru dan dicegah.”
Wallahu a’lam bi al-Shawaab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Add Your Spot Ads There!!